assalamualaikum

QUANTUM PENDANT

Banner Atas

Minggu, 05 September 2010

MENGINGAT MATI

Mengingat Mati

Hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Akan datang masanya kita berpisah dengan dunia berikut isinya. Perpisahan itu terjadi saat kematian menjemput, tanpa ada seorang pun yang dapat menghindar darinya. Karena Ar-Rahman telah berfirman:

“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)

“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa`: 78)

Kematian akan menyapa siapa pun, baik ia seorang yang shalih atau durhaka, seorang yang turun ke medan perang ataupun duduk diam di rumahnya, seorang yang menginginkan negeri akhirat yang kekal ataupun ingin dunia yang fana, seorang yang bersemangat meraih kebaikan ataupun yang lalai dan malas-malasan. Semuanya akan menemui kematian bila telah sampai ajalnya, karena memang:

“Seluruh yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” (Ar-Rahman: 26)

Mengingat mati akan melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hasungan untuk banyak mengingatnya. Beliau bersabda dalam hadits yang disampaikan lewat shahabatnya yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)

Dalam hadits di atas ada beberapa faedah:

- Disunnahkannya setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang sakit untuk mengingat mati dengan hati dan lisannya, serta memperbanyak mengingatnya hingga seakan-akan kematian di depan matanya. Karena dengannya akan menghalangi dan menghentikan seseorang dari berbuat maksiat serta dapat mendorong untuk beramal ketaatan.

- Mengingat mati di kala dalam kesempitan akan melapangkan hati seorang hamba. Sebaliknya, ketika dalam kesenangan hidup, ia tidak akan lupa diri dan mabuk kepayang. Dengan begitu ia selalu dalam keadaan bersiap untuk “pergi.” (Bahjatun Nazhirin, 1/634)

Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah ucapan yang singkat dan ringkas, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (kematian).” Namun padanya terkumpul peringatan dan sangat mengena sebagai nasihat, karena orang yang benar-benar mengingat mati akan merasa tiada berartinya kelezatan dunia yang sedang dihadapinya, sehingga menghalanginya untuk berangan-angan meraih dunia di masa mendatang. Sebaliknya, ia akan bersikap zuhud terhadap dunia. Namun bagi jiwa-jiwa yang keruh dan hati-hati yang lalai, perlu mendapatkan nasihat panjang lebar dan kata-kata yang panjang, walaupun sebenarnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”

disertai firman Allah 'Azza wa Jalla:

“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,” sudah mencukupi bagi orang yang mendengar dan melihat.

Alangkah bagusnya ucapan orang yang berkata:

“Ingatlah mati niscaya kau kan peroleh kelegaan, dengan mengingat mati akan pendeklah angan-angan.”

Adalah Yazid Ar-Raqasyi rahimahullahu berkata kepada dirinya sendiri,
“Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”

Kemudian ia berkata,
“Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)

Sungguh, hanya orang-orang cerdas cendikialah yang banyak mengingat mati dan menyiapkan bekal untuk mati. Shahabat yang mulia, putra dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’

‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:

“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata,
“Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)

Bayangkanlah saat-saat sakaratul maut mendatangimu. Ayah yang penuh cinta berdiri di sisimu. Ibu yang penuh kasih juga hadir. Demikian pula anak-anakmu yang besar maupun yang kecil. Semua ada di sekitarmu. Mereka memandangimu dengan pandangan kasih sayang dan penuh kasihan. Air mata mereka tak henti mengalir membasahi wajah-wajah mereka. Hati mereka pun berselimut duka. Mereka semua berharap dan berangan-angan, andai engkau bisa tetap tinggal bersama mereka. Namun alangkah jauh dan mustahil ada seorang makhluk yang dapat menambah umurmu atau mengembalikan ruhmu. Sesungguhnya Dzat yang memberi kehidupan kepadamu, Dia jugalah yang mencabut kehidupan tersebut. Milik-Nya lah apa yang Dia ambil dan apa yang Dia berikan. Dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata,
“Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”

Adalah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bila mengingat mati ia gemetar seperti gemetarnya seekor burung. Ia mengumpulkan para ulama, maka mereka saling mengingatkan akan kematian, hari kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis hingga seakan-akan di hadapan mereka ada jenazah. (At-Tadzkirah, hal. 9)

Tentunya tangis mereka diikuti oleh amal shalih setelahnya, berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera kepada kebaikan. Beda halnya dengan keadaan kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka yakin adanya surga tapi tidak mau beramal untuk meraihnya. Mereka juga yakin adanya neraka tapi mereka tidak takut. Mereka tahu bahwa mereka akan mati, tapi mereka tidak mempersiapkan bekal. Ibarat ungkapan penyair:

Aku tahu aku kan mati namun aku tak takut
Hatiku keras bak sebongkah batu
Aku mencari dunia seakan-akan hidupku kekal
Seakan lupa kematian mengintai di belakang
Padahal, ketika kematian telah datang, tak ada seorangpun yang dapat mengelak dan menundanya.

“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.” (Al-Munafiqun: 11)

Wahai betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:

“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)

Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.

“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)

Karenanya, berbekallah! Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya! Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
(Sumber: AsySyari'ah)

Jumat, 03 September 2010

AGUNGKAN ILMU DALAM HATIMU

Agungkan Ilmu dalam Hatimu

Dunia, memang masih menjadi orientasi utama banyak orang. Tak heran, harta yang berlimpah, jabatan, popularitas, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya menjadi buruan manusia siang malam. Padahal dunia adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan menyisakan kehampaan, kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang bisa meredam ambisi manusia terhadap sifat serakah terhadap dunia.

Siapa yang tak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya kedudukan? Sepertinya, hampir tak ada orangtua yang tak memiliki bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak mereka. Biasanya, sejak si anak masih dalam buaian, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan harapan. Pokoknya, yang terbaiklah yang ada dalam angan-angan. "Semoga anakku menjadi 'orang', semoga memiliki masa depan yang lebih baik dari pada ibu bapaknya, semoga jadi orang yang paling ini, paling itu …." dan sejuta lambungan 'semoga' yang lainnya.

Tak berhenti sampai di situ, bahkan segala yang dapat mendukung tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dini. Mulai dari tabungan biaya pendidikan, sampai prasarana yang diperkirakan menunjang pun disiapkan baik-baik. Berbagai pendidikan prasekolah pun diikuti agar melicinkan jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita orangtuanya.

Namun di balik segala cita-cita, ada sebuah kemuliaan yang seringkali justru terluputkan, bahkan diremehkan oleh banyak orangtua. Padahal inilah kemuliaan hakiki yang akan didapatkan oleh si anak jika dia benar-benar meraihnya. Kemuliaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia:

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21)

Demikianlah, dalam kalam-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang beriman lagi berilmu di atas orang yang beriman namun tidak berilmu. Ketinggian derajat akan diperolehnya di dunia berupa kedudukan yang tinggi serta reputasi yang baik, juga akan dicapai pula di akhirat berupa kedudukan yang tinggi di dalam surga. (Fathul Bari 1/186)

Mengapa tak cukup kedudukan dan kekayaan sebagai bekal? Bukankah dengan itu anak akan mendapatkan segalanya? Nampaknya benar bila kita tak mengkaji dalam-dalam. Namun sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu 'anhu:

“Dunia itu diberikan kepada empat golongan: (1) seorang hamba yang Allah anugerahi harta dan ilmu, maka dia pun bertakwa kepada Rabbnya dalam hal hartanya, menggunakan hartanya untuk menyambung tali kekerabatan dan mengetahui bahwa Allah memiliki hak dalam hartanya itu, maka dia berada pada derajat yang paling mulia di sisi Allah. (2) Dan seorang hamba yang Allah karuniai ilmu namun tidak diberi harta, dia adalah seorang yang benar niatnya. Dia katakan, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti amalan Fulan’, maka dengan niatnya itu pahala mereka berdua sama. (3) Juga seorang hamba yang Allah beri harta namun tidak dikaruniai ilmu, sehingga dia gunakan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya dalam hartanya itu, tidak menggunakannya untuk menyambung tali kekerabatan, dan tidak pula mengetahui ada hak Allah dalam hartanya, maka dia berada pada derajat yang paling hina di sisi Allah. (4) Dan seorang hamba yang tidak Allah beri harta maupun ilmu, lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Fulan’, maka dengan niatnya itu dosa mereka berdua sama." (HR. At-Tirmidzi no. 2325, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)

Dengan begitu, jelaslah bahwa sekedar bekal harta takkan cukup bagi seseorang. Perlu sesuatu yang lebih penting daripada itu, yang justru nanti akan menyelamatkannya dari kerusakan dalam mengelola harta yang dimilikinya. Itulah ilmu. Akan berbeda tentunya orang yang mengetahui syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang yang tidak mengetahuinya, bagaikan perbedaan siang dan malam, sebagaimana Allah firmankan dalam Tanzil-Nya:

“Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (Az Zumar: 9)

Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah menasehatkan tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta:

“Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sementara harta harus engkau jaga. Ilmu akan terus bertambah dan berkembang dengan diamalkan sementara harta akan terkurangi dengan penggunaan. Dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang dipegangi. Ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya. Sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia masih hidup. Sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati manusia." (dinukil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 13-14)

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu pernah pula mengatakan:

“Satu bab ilmu agama yang dipelajari oleh seseorang lebih baik baginya daripada dunia seisinya.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 18)

Ayat-ayat di dalam Al-Qur`an, maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan kemuliaan orang yang berilmu amat berbilang banyaknya. Ayat dalam surah Al-Mujadilah di atas adalah salah satunya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu:

“Dan katakanlah: Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu padaku.” (Thaha: 114)

Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan kabar yang dibawanya), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang berilmu akan mendapatkan kebaikan hakiki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini disampaikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma ketika berkhutbah:

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan faqihkan dia dalam agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan keutamaan ilmu dan memahami agama serta berisi anjuran untuk mendapatkannya. Karena semua ini akan menuntun seseorang untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Syarh Shahih Muslim, 7/127)

Dari sini bisa dipahami pula bahwa orang yang tidak memahami agama –dalam arti mempelajari kaidah-kaidah Islam dan segala yang berkaitan dengannya– berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dari kebaikan. (Fathul Bari, 1/217)

Inilah yang dicita-citakan oleh para pendahulu kita yang shalih. Mereka tidak bercita-cita agar anak mereka kelak menjadi hartawan atau penguasa, karena mereka sangat memahami, kemuliaan dan kebaikan mana yang hakiki. Oleh karena itu, mereka senantiasa berupaya agar anak-anak mereka menjadi anak-anak yang berhias dengan adab yang tinggi dan berbekal dengan ilmu. Mereka merasakan kebanggaan bila si anak memiliki pemahaman terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini lebih dari kebanggaan apa pun, dan merasakan penyesalan bila si anak terlewatkan dari keutamaan seperti ini.

‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma untuk duduk di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang dewasa dari kalangan para sahabat. Ibnu ‘Umar adalah peserta termuda dalam majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. ‘Umar pun merasa bangga bila sang putra memiliki ilmu lebih daripada yang dimiliki orang lain yang ada di situ. Peristiwa ini dikisahkan sendiri oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:

“Kami dulu pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan padaku tentang sebuah pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Waktu itu terlintas dalam benakku bahwa itu adalah pohon kurma. Namun aku melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan pula untuk menjawabnya. Ketika para shahabat tidak menjawab sedikit pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu pohon kurma.’ Saat kami telah bubar, kukatakan pada ayahku ‘Umar, ‘Wahai ayah, demi Allah, sesungguhnya tadi terlintas dalam benakku, itu adalah pohon kurma.’ Ayahku pun bertanya, ‘Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?’ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Aku melihat anda semua tidak berbicara sehingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu.’ Kata ‘Umar, ‘Sungguh kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!’.” (HR Al-Bukhari no. 4698)

Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki pendidik semenjak kecil dan benar-benar berpesan pada si anak agar bersemangat belajar. Mereka pun betul-betul perhatian dengan memberikan sarana yang akan digunakan anak mereka untuk menuntut ilmu. Seperti ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu yang berpesan kepada pendidik putranya: "Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan jauhkan dia dari syi’ir." (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 30)

Banyak gambaran dalam kehidupan salafush shalih yang melukiskan semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilatari dan dilandasi dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka ajarkan pada si anak tentang beratnya perjalanan menuntut ilmu dengan segala aral merintang. Bahkan mereka tak segan kehilangan harta untuk perjalanan anak-anak mereka menuntut ilmu agar kelak dapat memberikan manfaat pada diri si anak sendiri dan lebih dari itu, pada Islam dan kaum muslimin.

‘Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi rahimahullahu menceritakan tentang kesungguhan pengorbanan ayahnya, “Ayahku pernah memberiku uang seratus ribu dirham sambil berkata, 'Pergilah untuk menuntut ilmu, dan aku tak ingin melihat wajahmu kecuali setelah engkau menghapal seratus ribu hadits!’.” ‘Ali pun pergi jauh untuk menuntut ilmu, kemudian pulang untuk mengajarkan ilmu yang didapatkannya, sampai-sampai yang hadir di majelisnya lebih dari tigapuluh ribu orang. (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)

Begitu pula Al-Mu’tamir bin Sulaiman mengisahkan tentang pesan sang ayah, “Ayahku pernah menulis surat padaku saat aku berada di Kufah, ‘Belilah buku dan catatlah ilmu, karena harta itu akan musnah, sementara ilmu itu akan kekal’.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)

Bila ilmu dimiliki oleh seseorang, maka kehormatan dan kemuliaan akan datang tanpa diundang dan dicari-cari.Tak memandang apakah dia keturunan bangsawan atau seorang budak, ataukah dia seorang rupawan atau tidak. Memang, bila akhirat menjadi tujuan seseorang, maka dunia pun akan Allah Subhanahu wa Ta’ala datangkan kepadanya. Sebaliknya, bila dunia yang menjadi cita-citanya, maka kehinaan semata yang akan dia dapatkan. Demikian dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah akan jadikan kekayaan dalam hatinya, dan Allah kumpulkan baginya urusannya yang tercerai-berai, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tidak suka kepadanya. Dan barangsiapa yang dunia menjadi cita-citanya, Allah akan jadikan kefakiran di depan matanya, Dia cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali hanya apa yang telah ditentukan baginya." (HR. At-Tirmidzi no. 2465, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)

Ibnul Jauzi rahimahullahu pernah menasihati putranya dan menganjurkannya untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Beliau berkata, “Ketahuilah, ilmu itu akan mengangkat orang yang hina. Banyak kalangan ulama yang tidak memiliki nasab yang bisa dibanggakan dan tidak punya wajah yang rupawan.”

Bahkan ‘Atha` bin Abi Rabah rahimahullahu adalah seorang yang berkulit hitam dan berwajah jelek, namun didatangi oleh Khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua orang putranya. Mereka duduk di hadapan ‘Atha` untuk bertanya masalah manasik haji. ‘Atha` pun menjelaskan pada mereka bertiga sambil memalingkan wajahnya dari mereka. Sang Khalifah berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah, dan jangan lalai dan malas untuk mencari ilmu. Aku tidak akan pernah melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 33)

Kalau demikian kenyataannya, tentunya orangtua tak akan membiarkan angan-angannya melambung tanpa arah. Mengantarkan anak menjadi seorang yang mengerti tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala seluk-beluknya berarti mengantarkan anak menjadi seorang yang akan dimuliakan di dunia dan di akhirat.

Oleh karena itu, hendaknya orangtua selalu berusaha membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu, menekankannya, dan menyemangati mereka agar bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih. Karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berujung jannah-Nya yang kekal abadi. Benarlah janji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu tersebut, jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. 
 
Oleh : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
(Sumber: AsySyri'ah)
 

Kamis, 02 September 2010

Jalan Menuju Kebahagiaan

Jalan Menuju Kebahagiaan

Banyak cara dilakukan manusia untuk meraih kebahagiaan. Sebagian mereka beranggapan bahwa kebahagiaan bisa diraih dengan banyaknya harta, kedudukan yang terpandang, dan popularitas yang pantang surut. Tak heran bila manusia berlomba-lomba mendapatkan itu semua, termasuk dengan menggunakan segala cara. Lantas apakah bila seseorang sudah menjadi kaya raya, terpandang, dan terkenal otomatis menjadi orang yang selalu bahagia? Ternyata tidak! Kalau begitu, bagaimana cara meraih kebahagiaan yang benar?

Mungkin anda termasuk satu dari sekian orang yang tengah berupaya mencari cara untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup. Sehingga anda sibuk membolak-balik majalah, tabloid, dan semisalnya, atau mendatangi orang yang berpengalaman untuk mencari kiat-kiat hidup bahagia. Mungkin kiatnya sudah anda dapatkan namun ketika dipraktekkan, kebahagiaan dan ketenangan itu tak kunjung datang. Sementara kebahagiaan dan ketenangan hidup merupakan salah satu kebutuhan penting, apalagi bila kehidupan selalu dibelit dan didera dengan permasalahan, kesedihan dan kegundah gulanaan, akan semakin terasalah butuhnya kebahagian, atau paling tidak ketenangan dan kelapangan hati ketika menghadapi segala masalah.

Sepertinya semua orang hampir sepakat bahwa bahagia tidak sepenuhnya diperoleh dengan harta dan kekayaan karena berapa banyak orang yang hidup bergelimang harta namun mereka tidak bahagia. Terkadang malah mereka belajar tentang kebahagiaan dari orang yang tidak berpunya.

Sebenarnya kebahagiaan hidup yang hakiki dan ketenangan hanya didapatkan dalam agama Islam yang mulia ini. Sehingga yang dapat hidup bahagia dalam arti yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama ini. Ada beberapa cara yang diajarkan agama ini untuk dapat mencapai hidup bahagia, di antaranya disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah dalam kitabnya Al-Wasailul Mufidah lil Hayatis Sa‘idah:

1. Beriman dan beramal shalih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Siapa yang beramal shalih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Ini adalah janji dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada orang yang beramal shalih yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan dari keturunan Adam, sementara hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berjanji untuk memberikan kehidupan yang baik baginya di dunia dan membalasnya di akhirat dengan pahala yang lebih baik daripada amalannya. Kehidupan yang baik mencakup seluruh kesenangan dari berbagai sisi. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dan sekelompok ulama bahwa mereka menafsirkan kehidupan yang baik (dalam ayat ini) dengan rezki yang halal lagi baik (halalan thayyiban), sementara Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup), demikian pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Wahb bin Munabbih. Berkata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: “Sesunggguhnya kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.” Al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah berkata: “Tidak ada bagi seorang pun kehidupan yang baik kecuali di surga.” Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan: “Ia adalah rizki yang halal dan ibadah di dunia serta beramal ketaatan dan lapang dada untuk taat.” Yang benar dalam hal ini adalah kehidupan yang baik mencakup seluruh perkara tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/421)

2. Banyak mengingat Allah (berdzikir)
Karena dengan dzikir kepada-Nya akan diperoleh kelapangan dan ketenangan, yang berarti akan hilang kegelisahan dan kegundah gulanaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Ketahuilah dengan mengingat (berdzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)

3. Bersandar kepada Allah dan tawakkal pada-Nya
Yakin dan percaya kepada-Nya dan bersemangat untuk meraih keutamaan-Nya. Dengan cara seperti ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa serta gundah gulana. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)

4. Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan maupun perbuatan dengan ikhlas kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barangsiapa melakukan hal itu karena mengharapkan keridhaan Allah, niscaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas:
“Yakni tidak ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan di antara manusia dan tentunya jika tidak ada kebaikan maka bisa jadi yang ada adalah ucapan tak berfaedah seperti berlebih-lebihan dalam pembicaraan yang mubah atau bisa jadi kejelekan dan kemudlaratan semata-mata seperti ucapan yang diharamkan dengan seluruh jenisnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengecualikan: “Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) untuk bersedekah,” dari harta ataupun ilmu (dengan mengajarkannya–pen) atau sesuatu yang bermanfaat, bahkan bisa jadi masuk pula di sini ibadah-ibadah seperti bertasbih, bertahmid, dan semisalnya sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah dan setiap tahlil adalah sedekah. Demikian pula amar ma‘ruf merupakan sedekah, nahi mungkar adalah sedekah dan dalam kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah (dengan menggauli istri)….” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 202)

5. Menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat.

6. Mencurahkan perhatian dengan apa yang sedang dihadapi disertai permintaan tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Tanpa banyak berangan-angan (terhadap perkara dunia) untuk masa yang akan datang karena akan berbuah kegelisahan disebabkan takut/ khawatir menghadapi masa depan (di dunia) dan juga tanpa terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan dan diraih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpamu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini niscaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaithan.” (HR. Muslim)

7. Senantiasa mengingat dan menyebut nikmat yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik nikmat lahir maupun batin.
Dengan melakukan hal ini seorang hamba terdorong untuk selalu bersyukur kepada-Nya sampaipun saat ia ditimpa sakit atau berbagai musibah lainnya. Karena bila ia membandingkan kenikmatan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala limpahkan padanya dengan musibah yang menimpanya sungguh musibah itu terlalu kecil. Bahkan musibah itu sendiri bila dihadapi dengan sabar dan ridha merupakan kenikmatan karena dengannya dosa-dosa akan diampuni dan pahala yang besar pun menanti.

8. Selalu melihat orang yang di bawah dari sisi kehidupan dunia
Misalnya dalam masalah rezki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

9. Ketika melakukan sesuatu untuk manusia, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka namun berharaplah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sehingga engkau tidak peduli mereka mau berterima kasih atau tidak dengan apa yang telah engkau lakukan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ucapan hamba-hamba-Nya yang khusus:

“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sebagai akhir teruntai doa kepada Rabbul ‘Izzah :

“Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang agama ini merupakan penjagaan perkaraku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh kejelekan.” (HR. Muslim)

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Oleh: Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
(Sumber: Asy-Syari'ah)

Rabu, 01 September 2010

Pentingnya Kebersamaan

Pentingnya Kebersamaan

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia dengan keahlian dan kepandaian yang berbeda-beda pula. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya. Demikian pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)

Kehidupan bermasyarakat sendiri tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin dan kebersamaan. Oleh karena itulah, Islam begitu menekankan agar kaum muslimin bersatu dalam jamaah di bawah satu penguasa. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, sebagian menopang sebagian yang lain.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Di antaranya beliau berkata:

“…Wajib atas kalian untuk bersama dengan al-jamaah dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua dia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga maka hendaklah dia bersama jamaah. Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, maka dia adalah seorang mukmin.” (Shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/465, cet. Musthafa Al-Babi, Mesir, cet. II. At-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih.”; juga Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Al-Musnad 1/18 cet. Al-Maktabul Islami Beirut. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam Syarhul Musnad 1/112 cet. Darul Ma’arif, Mesir. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullahu dalam As-Sunnah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah cet. Al-Maktab Al-Islami Beirut cet. III, hal 42-43 dari jalan Muhammad bin Suqah, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar.)

Sungguh indah kebersamaan dalam jamaah dan sungguh nikmat hidup dalam keteraturan di bawah satu penguasa. Sebagaimana dikatakan: Al-Jama’atu rahmah wal furqatu ‘adzab (kebersamaan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab). Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang perpecahan dalam beberapa ayatnya. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)

Di antara tafsir “tali Allah” selain Islam, Al-Qur`an dan As-Sunnah, adalah jamaah kaum muslimin dan penguasanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: “Wahai manusia, wajib atas kalian untuk taat dan tetap bersama jamaah, karena itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah! Apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.” (Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri rahimahullahu, hal. 23-24, cet. Darus Salam, Riyadh cet. I)

Tidak ada pertentangan antara tafsir tersebut dengan tafsir yang lainnya. Karena ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar berpegang dengan ajaran Islam, dengan dasar Al-Qur`an dan As-Sunnah serta tetap bersama jamaah kaum muslimin dan penguasanya, agar tidak berpecah belah. Jika keluar dari salah satunya maka akan terjatuh dalam perpecahan. Sehingga, semuanya sama-sama merupakan tali Allah yang sangat kuat, yang mengikat mereka dalam kebersamaan.

Nikmatnya kebersamaan dalam satu jamaah dengan satu kepemimpinan telah dirasakan sejak zaman para shahabat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpinnya. Maka ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat segera membicarakan siapa khalifah yang akan menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan karena mereka adalah para politikus yang berambisi menjadi penguasa –seperti yang dikatakan oleh kaum Syi’ah– tetapi karena mereka faham betul betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kebersamaan.

Tentunya kepemimpinan tanpa ketaatan adalah sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menaati seorang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan sebagai penguasa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemerintah/penguasa di kalangan kalian.” (An-Nisa`: 59)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk menaati penguasa. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

”Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasanya dalam apa yang dia sukai dan yang tidak dia sukai, kecuali jika dia diperintah untuk bermaksiat. Jika dia diperintah untuk bermaksiat maka tidak wajib baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1469, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut, cet. I)

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:

“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, maka matinya mati jahiliah.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/1476, 1477, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. I, dari jalan Ghailan bin Jarir, dari Abu Qais bin Rabah, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Dalam hadits ini, orang yang tidak taat dan memisahkan diri dari jamaah dikatakan jahiliah. Demikian pula dalam ayat di atas, orang yang berpecah belah dikatakan seperti musyrikin. Hal ini karena orang tersebut seperti keadaan musyrikin di zaman jahiliah, yaitu masyarakat liar yang hidup tanpa keteraturan dan kepemimpinan1.

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaati penguasa di atas adalah dalam rangka menjaga kebersamaan dalam jamaah dan tidak bercerai berai. Oleh karena itu, perintah tersebut tidak gugur dengan kezhaliman penguasa tersebut atau kekurangan-kekurangan dalam hal fisiknya. Karena hikmah dalam kebersamaan lebih besar daripada kezhaliman penguasa tersebut. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan untuk menaatinya walaupun penguasa itu bekas budak hitam yang cacat.

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata:

“Kekasihku (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat, walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/467, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut; dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad hal. 54, cet. ‘Alamul Kutub, Beirut, cet. II)

Kalimat mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat, seperti terpotong telinga, hidung, atau tangan dan kakinya. Namun seringkali kalimat mujadda’ dipakai dengan maksud terpotong hidungnya. Sedangkan mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir rahimahullahu berkata dalam An-Nihayah: “Maknanya adalah terpotong-potong anggota badannya, di-tasydid-kan huruf dal-nya untuk menunjukkan banyak.”

Demikian pula riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu yang memerintahkan kita untuk taat pada penguasa, walaupun seorang bekas budak hitam yang kepalanya seperti kismis. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dengar dan taatilah walaupun yang dipilih sebagai penguasa kalian adalah budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121 cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsiyyah, Riyadh; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/955 cet. Fuad Abdul Baqi; Ahmad dalam Al-Musnad, 3/114, cet. Al-Maktabul Islami, Beirut)

Bahkan perintah ini tidak gugur walaupun penguasa tersebut zhalim, merampas harta rakyat dan menindas, selama dia masih muslim. Dikisahkan oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu:

Kami katakan: “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertakwa, tetapi penguasa yang berbuat begini dan begitu –dia menyebutkan kejelekan-kejelekan–?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bertakwalah kepada Allah, dan dengarlah dan taatlah kalian kepadanya!” (Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/494 cet. Al-Maktabul Islami Beirut cet. II, dari jalan ‘Utsman bin Qais Al-Kindi, dari ayahnya, dari ‘Adi bin Hatim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah cet. Al-Maktab Al-Islami, Beirut cet. III, hal. 494)

Lebih dahsyat lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambarkan akan munculnya seorang penguasa yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia. Disebutkan dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu sebagai berikut:

Aku mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jelek kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini, dan kami berada di dalamnya. Maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Bagaimana itu?” Beliau berkata: “Akan ada setelahku penguasa-penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Akan muncul di tengah mereka para lelaki yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam tubuh-tubuh manusia.” Aku berkata: “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan itu?” Beliau berkata: “Dengar dan taatlah pada penguasa walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas! Dengarlah dan taatilah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/111, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsiyyah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1476 cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. I; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 2/1317 cet. Fuad Abdul Baqi, dari jalan Busr bin Ubaidillah Al-Hadhrami, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu)

Perhatikanlah! Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bukan membela para penguasa yang jahat dan zhalim. Tetapi menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan di bawah kepemimpinan seorang penguasa. Bisa dibayangkan, betapa jeleknya seorang yang meruntuhkan atau merusak kebersamaan ini dengan sikap menentang penguasa muslim, memberontak dan memeranginya.

Memang kebanyakan orang yang merusak kebersamaan ini berniat baik, yaitu mengingkari kemungkaran. Tetapi kenyataannya, mereka mengganti kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar. Mereka mengganti kezhaliman penguasa dengan perang saudara sesama muslim. Atau mengganti keteraturan dan kepemimpinan dengan kekacauan dan pertumpahan darah. Apakah ini sebuah hikmah? Ataukah ini suatu kebodohan yang nyata?!

Diriwayatkan oleh Al-Ajurri rahimahullahu dalam kitabnya Asy-Syari’ah dengan sanadnya, bahwa ketika disampaikan kepada Al-Hasan radhiyallahu 'anhu tentang Khawarij (para pemberontak) yang telah muncul di Khuraibiyyah (daerah Bashrah), beliau berkata: “Kasihan mereka. Mereka melihat kemungkaran kemudian mengingkarinya, ternyata mereka terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar.” (Asy-Syari’ah, hal. 38, cet. Darus Salam, Riyadh, cet. I)

Wallahu a’lam.

1 Sebagian ulama menafsirkan: sesat. (ed)
Oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
(Sumber: AsySyriah)

Selasa, 31 Agustus 2010

JAUHI BURUK SANGKA

Jauhi Buruk Sangka
 Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)

Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)

Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata,
“Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)

Dari hadits:

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)

Sufyan rahimahullahu berkata,
“Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”

Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)

Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)

Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.

“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)

Wallahu a’lam bish-shawab.


1 Lafadz hadits yang dimaksud adalah:

“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)

Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
(Sumber: AsySyariah)

Senin, 30 Agustus 2010

Rela Pada Ketentuan Allah

Rela Pada Ketentuan Allah
Oleh: Imam Asy-Syafi’i

Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa

Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji

Jika banyak aibmu di mata manusia
Sedang engkau berharap menutupinya
Bersembunyilah engkau di balik derma
Dengan derma aibmu tertutup semua

Jangan pernah terlihat lemah di depan musuhmu
Sungguh malapetaka jika musuh menertawaimu

Jangan berharap dari orang kikir kemurahan
Di neraka tiada air bagi orang yang kehausan
Rizkimu tidak berkurang karena kerja wajar perlahan
Berlelah-lelah tidak menambah rizki seseorang

Tiada kesedihan yang kekal tidak pula kebahagiaan
Tiada kesulitan yang abadi tidak pula kemudahan

Jika engkau berhati puas dan mudah menerima
Sungguh, antara engkau dan raja dunia tiada beda

Barangsiapa kematian datang menjemputnya
Langit dan bumi tak kan mampu melindunginya

Bumi Allah begitu lapang luas membentang
Namun seakan sempit kala ajal menjelang

Biarkanlah hari-hari ingkar janji setiap saat
Kematian tak mungkin dicegah dengan obat

(Sumber: http://ummusalma.wordpress.com)

Minggu, 29 Agustus 2010

SIMPANAN YANG TAK AKAN SIRNA

Simpanan yang Tak Akan Sirna
Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya:

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)

Tsauban radhiyallahu 'anhu berkata:
Dahulu kami bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)

Tingkatan-tingkatan Amalan
Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)

Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

Luasnya Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala
Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah Subhanahu wa Ta'ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)

Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

Barakah Keikhlasan
Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta'ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun
Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):
“Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)

Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)

Dan tersebut dalam hadits:

“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)

Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.

Harta Kita yang Sesungguhnya
Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Baththal rahimahullahu berkata:
“Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)

‘Aisyah radhiyallahu 'anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu'thi, Lc
(Sumber AsySyariah )